Sunday, May 31, 2020

MALAIKAT BERCADAR


Oleh : Irene Radjiman

Inara baru saja pulang dari sharing di sebuah kajian di kota B. Seperti biasa ia selalu ditemani oleh suaminya. Dari kota B mereka akan pulang menuju kota S tempat mereka tinggal. Biasanya mereka melewati kota P, di mana Inara dan suami sering sekali melewati kota P dan mereka paham bila selepas maghrib akan ada banyak ukhti yang berpakaian minimalis dengan bedak tebal dan bibir merah merekah bak kelopak mawar, berjejer dipinggir jalan atau di warung kecil dengan cahaya lampu remang-remang. Mereka biasa melambaikan tangannya pada setiap mobil mewah yang melintas, atau motor yang mereka lihat hanya ditumpangi oleh seorang pria.

Yaaa kalian pasti tahu siapa para ukhti itu. Maaf jangan ada yang protes bila saya memilih menyebut mereka dengan sebutan "ukhti" sebab arti kata ukhti adalah "saudara perempuan" bukan ?

"Abi, bagaimana bila kali ini amplop dari kajian ini kita berikan pada salah satu ukhti yang biasa berdiri dipinggir jalan kota P nanti?" tanya Inara pada suaminya. Sang suami melambatkan laju mobilnya.

"Kenapa ummi memilih salah satu dari mereka ?" suaminya balas bertanya.

"Entahlah, bi, ummi tidak tahu kapan terakhir kali mereka memakan makanan halal. Jangan-jangan ada salah satu dari mereka yang sedang menafkahi anak yang sedang belajar agama."

"Bagaimana ummi bisa berpikir bahwa ada di antara mereka yang memberikan pendidikan agama untuk anak-anaknya ?"

"Sejahat-jahatnya mafia, dia akan pilihkan hal-hal baik untuk buah hatinya, bi. Sebab mereka manusia bukan iblis."

Sejurus suami Inara terdiam. Ada amplop berwarna coklat yang tergeletak di jok belakang. Inara sering sekali diundang di sebuah acara ataupun di sebuah kajian sebagai narasumber. Banyak yang memanggilnya ustadzah, namun Inara selalu klarifikasi "Saya bukan ustadzah." Ia lebih nyaman dipanggil dengan sebutan "mbak" atau "bunda".

Inara tidak pernah tahu, berapa isi amplop yang selalu diselipkan oleh panitia di setiap bingkisan yang selalu dibawakan untuknya. Inara dan suami sudah sepakat, tidak mau tahu jumlah nominalnya. Uang dari ummat akan kembali untuk ummat. Amplop itu biasanya akan diberikan pada siapa saja di mana hati Inara tergerak untuk memberikannya. Bisa diberikan untuk tukang becak, kuli panggul, pemulung, gepeng, siapa sajalah. Namun entah kali ini hati Inara tergerak untuk memberikannya pada salah satu ukhti yang berdiri di pinggir jalan sepanjang jalan kota P.

"Abi, tolong berhenti di sana, di tempat ukhti yang berdiri sendiri itu !" tunjuk Inara.

"Perempuan yang pakai baju merah itu ?"

"Iya."

Suami Inara menghentikan mobilnya tepat di hadapan wanita itu. Wanita itu reflek mendekat dan mengetuk kaca mobil. Kaca mobil dibuka. Wanita itu nampak terkejut melihat wanita bercadar berada di samping pria yang cukup terbilang tampan yang berekspresi lurus di belakang stir kemudi. Wanita itu tersenyum kikuk sambil surut beberapa langkah ke belakang. Inara mengambil amplop coklat di jok belakang. Inara turun dari mobil sambil tersenyum. Namun wanita itu tak melihat senyuman bibir Inara di balik cadar.

"Assalamualaikum, mbak." sapa Inara.

"Wa'alaikumussalam." wanita itu menjawab sambil menatap lekat Inara. Seolah bingung apa keperluan wanita bercadar itu pada dirinya.

"Maaf mbak, ini ada rejeki dari Allah. Saya tergerak untuk memberikannya pada mbak. Saya tidak tahu berapa nilai nominalnya, tapi saya berharap rizki ini akan membawa keberkahan bagi mbak sekeluarga. Mohon diterima ya mbak." Inara mengulurkan amplop coklat ke arah wanita itu. Wanita itu tidak segera menerimanya.

"Apa ini mbak ?" tanyanya pada Inara.

"Tadi saya baru mengisi kajian di kota B. Ini adalah amplop yang diberikan oleh panitia pada saya. Saya tidak pernah membuka ataupun menggunakan amplop ini, saya biasa memberikannya pada siapa saja melalui gerakan hati saya."

"Apakah mbak tahu siapa saya ?'

"Memangnya mbak siapa ?"

"Saya ini wanita jalang mbak. Begitulah sebutan yang disematkan orang-orang pada manusia seperti saya. Itu adalah uang dakwah, saya tidak pantas menerimanya. Bawa kembali saja uang itu." Bibir merah wanita itu bergetar saat menjawabnya.

"Saya juga bukan orang suci mbak. Apakah mbak pikir saya orang baik karena memberikan rizki ini pada mbak ? Saya ini sama dengan mbak. Di mana hati saya adalah milik Pencipta kita dan berada di dalam genggamanNYA. Saya juga tidak tahu, mengapa Sang Pemilik Hati saya mengarahkan saya pada mbak untuk memberikan amplop ini."

Wanita berbedak tebal itu terjongkok, menangis tergugu. Eye liner yang ia gunakan sampai luntur. Inara mendekat, merengkuh pundaknya. Diraihnya tangan wanita itu, digenggamkannya pada amplop coklat yang ia bawa.

"Semoga yang ada di dalam amplop ini bisa menjadi pintu rejeki yang barokah bagi mbak sekeluarga dan mengeluarkan mbak dari ketidakhalalan selama ini. Saya mohon pamit ya mbak. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam." Jawabnya masih dengan terisak.

Inara melangkah menuju mobilnya. Sekuat tenaga ia tahan tetesan embun hangat yang sudah menggenang pada telaga matanya.

***
Namaku Amidah. Aku janda yang memiliki 4 orang anak. Aku terjebak sebagai kupu-kupu malam sebab dijual oleh suamiku yang sudah mabok judi dan miras. Namun akhirnya aku terbiasa dengan pekerjaan ini walau kini suamiku telah meninggal karena over dosis miras.

Walau aku pekerja haram, namun aku tak ingin anak-anakku kelak akan sebejat aku dan ayahnya. Walau banyak gunjingan tidak sedap dari tetangga sekitar, aku tetap ikut sertakan anak-anakku pada pengajian musholla di dekat kontrakanku. Anakku yang paling besar sudah kelas 6 SD, sudah bisa mengurus adik-adiknya bila kutinggal.

Sudah seminggu ini aku tidak menjumpai pelanggan satupun. Yah aku bukan PSK kelas kakap yang biasa dibayar puluhan juta per jam. Aku hanyalah PSK kelas teri yang hanya dibayar 100 - 200 ribu per malam. Bahkan bisa banting harga lebih murah bila sedang sepi pelanggan. Yah... segitulah harga tubuhku. Seminggu ini kami hanya makan nasi dan rebusan daun pepaya yang tumbuh subur di belakang kontrakanku.

Sore itu aku hanya memiliki selembar uang 20rb. Saat hendak berangkat mangkal seperti biasa, kulihat ada seorang anak bertubuh kurus dan kumal berlarian dikejar oleh 2 orang laki-laki dan perempuan. Anak itu kulihat bersembunyi di balik semak-semak. Tapi malang, bocah itu ketahuan. Si laki-laki yang mengejar, tanpa ampun menyeret bocah itu keluar dari semak-semak. Si wanita entah isteri laki-laki itu atau siapanya sudah siap hendak memukul bocah itu. Reflek aku berlari ke arah mereka.

"Stop ! ada apa ini !"

"Dia maling !" kata si laki-laki

"Iyaa... setan kecil ini sudah maling dagangan kami !" si wanita tak kalah sengit.

"Memangnya dia sudah maling apa ?" tanyaku.

"Heh setan maling keluarkan barang curianmu !" bentak si wanita. Dengan ketakutan bocah cilik itu mengeluarkan 2 bungkus makanan. Mungkin isinya nasi dan lauk.

"Nah ini ! saya lagi bungkusin nasi ini buat pesanan, baru ditinggal sebentar ke dalam sudah dimaling sama setan ini !" si wanita itu kembali menimpali.

"Maaf bu, adik saya lagi sakit di rumah, sudah 3 hari nggak ada makanan, saya cuma minta 2 bungkus buat kedua adik saya." kuperhatikan bocah itu. Sepertinya seumuran dengan anakku yang nomor 3. Aku tiba-tiba teringat anakku. Lalu kudekati wanita penjual nasi itu.

"Berapa harga 2 bungkus nasi itu ?"

"20 ribu !" Jawabnya ketus. Kuambil uang 20 ribu semata wayangku di balik dompet. Kuserahkan pada wanita penjual nasi itu. Akhirnya ia lepaskan bocah kurus kumal itu dengan kasar.

"Awas ya kalo kamu berani maling lagi !" Katanya mengancam, sambil berlalu.

"Terimakasih, tante." Kata bocah itu menunduk sambil terus mendekap 2 bungkus nasi yang ia dapat dari warung.

"Jangan mencuri lagi ya, dek. Semoga adikmu segera sembuh." Bocah itu mengangguk, kemudian berlari secepat kilat dari hadapanku.

Saat anak itu berlalu aku kembali melanjutkan langkahku. Kuhidupkan sebatang rokok untuk mengusir kegalauanku.

"Ya Tuhan, daun pepaya di belakang kontrakan sudah habis. Uang 20rb semata wayangku pun sudah tidak ada. Dengan apakah esok hari anak-anakku akan makan Tuhan ?! Mengapa setetes rizki harampun tak mudah kudapatkan ?"

Tiba-tiba mobil yang cukup mewah berhenti di hadapanku. Mataku berbinar penuh harapan. Aku langsung mendekat dan kuketuk kaca mobilnya. Saat kaca mobil itu terbuka langkahku langsung surut beberapa langkah ke belakang. Kulihat seorang pria tampan di balik kemudi, namun di sampingnya kulihat ada malaikat bercadar. Malaikat bercadar itu mengambil sesuatu di jok belakang mobil lalu keluar membawa amplop berwarna coklat. Amplop itu ia berikan padaku. Aku sempat menolak, sebab aku tahu itu adalah uang dakwah. Tanganku terlalu kotor untuk menerima amplop yang di dalamnya berisi infaq dari orang-orang beriman. Namun malaikat itu justru mengatakan sesuatu yang membuatku menangis tergugu.

"Saya juga bukan orang suci mbak. Apakah mbak pikir saya orang baik karena memberikan rizki ini pada mbak ? Saya ini sama dengan mbak. Di mana hati saya adalah milik pencipta kita dan berada di dalam genggamanNYA. Saya juga tidak tahu, mengapa sang pemilik hati saya mengarahkan saya pada mbak untuk memberikan amplop ini."

"Ya Tuhan... benarlah dia malaikat yang KAU kirim untuk menunjukkan betapa KAU sangat mencintaiku !"

Aku langsung bergegas pulang. Di dalam kamar kubuka isi amplop coklat itu. Kuhitung lembar demi lembar kertas berwarna merah itu. Li... lima... ju... juta.... !!! 5 JUTA !!! Seumur hidup aku belum pernah memegang uang cash sebanyak ini !!! Ya Allah !! benarkah ini !! Ampuni aku ya Allah !! Aku pendosa menjijikkan ini KAU beri tunai hanya karena kuberikan lembaran uang 20 ribu, satu-satunya lembaran yang kupunya di hari ini pada bocah kurus kumal itu. Ahh siapakah bocah kurus kumal itu? Aku juga tak tahu.

***
Aku Muhammad Yahya. Usiaku 12 tahun. Sejak aku duduk di bangku kelas 4 SD aku sudah tahu apa yang dikerjakan oleh ayah dan ibuku. Sindiran tetangga sudah tidak asing lagi bagiku. Namun ibuku seperti tidak ingin kami tahu apa yang sudah ia lakukan bila pulang tengah malam. Ibu selalu berkata padaku, 
"Yahya mengajilah yang rajin. Allah Maha Penyayang. Do'akan ibu agar Allah mengasihani ibu yang bodoh ini. Ibu banyak salah pada Allah".
Aku hanya mengangguk. Dalam hati aku menangis. Setelah menidurkan adik-adikku, aku selalu melakukan sholat sunnah taubat dan witir. Aku minta Allah mengasihani ibu dan membukakan pintu ampunanNYA bagi ibu. Setelah itu aku membaca Qur'an sambil menunggu ibu pulang. Ibu tidak tahu kalau setiap bulan aku selalu khatamkan Al-Quran. Aku selalu menangis setiap kali membaca Qur'an dan membayangkan apa yang sedang ibu lakukan di luar sana untuk menghidupi kami berempat.

"Ya Allah kasihanilah ibuku, lindungilah ia selalu, bukakanlah pintu ampunanmu bagi seluruh dosa-dosanya."

Entah bagaimana cara Allah menjawab do'a - do'aku. Kini yang kutahu, ibu sudah tidak lagi mengenakan pakaian mini. Ia menggantinya dengan jilbab, walau belum sempurna. Sudah tak pernah lagi keluar malam dan aku sudah tidak pernah lagi melihat ibu merokok. Kini kami telah memiliki warung sembako. Alhamdulillah, akhirnya kami bisa mengecap rizki halal. Ketika kutanya, dari manakah ibu dapatkan modal untuk membuka warung sembako?
Ibu menjawab, "Rizki halal dari langit yang dikirim melalui malaikat bercadar."

Aku mengernyitkan kening.

"Iya benar, ibu sendiri tidak pernah tahu, seperti apakah wajah malaikat itu."

***
Sore itu selepas ashar,
"Ustadzah Riska !" Inara memanggil dengan nada berbisik setengah berteriak. Ustadzah Riska menoleh.

"Aku Inara." Inara langsung mendekat.

"Oohh bunda Inara ! kok bisa ada di sini, habis dari mana ?"

"Aku mencari rumah wanita ini." Inara menunjuk foto seorang wanita di layar hp. Saat dulu Inara memberikan amplop coklat itu, suaminya sempat memotret dari dalam mobil tanpa sepengetahuan siapapun. Hanya Tuhan yang tahu.

"Ooohhh ini bu Amidah. Oohh jangan-jangan bunda adalah wanita bercadar yang dia ceritakan itu ?"

"Memangnya dia cerita apa pada ustadzah ?"

"Dia bercerita banyak, intinya dia minta pendapat saya, uang 5 juta itu baiknya digunakan untuk apa ? dia ingin mengakhiri dunia kelamnya. Saya sarankan untuk membuka warung sembako."

"Uang 5 juta ?" Inara mengulang.

"Iya bunda, isi amplop itu uang 5 juta."

"Kenapa bu Amidah minta pendapat pada ustadzah ?"

"Sebab anak-anak bu Amidah mengaji pada saya. Anaknya yang sulung juga pernah bercerita banyak hal tentang ibunya dan juga tentang uang dari langit yang diberikan oleh malaikat bercadar."

"Malaikat bercadar?"

"Iyaa, begitulah bu Amidah menyebut anti, bunda Inara. Oh ya sekarang bu Amidah telah mulai berjilbab bunda." Hati Inara tersentak. Ada yang melonjak di sudut hatinya. Matanya berkaca - kaca menatap lekat mata bening ustadzah Riska. Sore itu ustadzah Riska menceritakan banyak hal perihal bu Amidah dan Yahya. Sebelum berpamitan Inara berpesan sesuatu pada ustadzah Riska.

"Ustadzah, mohon rahasiakan identitas malaikat bercadar. Saya hanya ingin tahu bagaimana keadaan beliau saat ini. Namun informasi dari ustadzah sudah lebih dari cukup bagi saya. Mohon kiranya ustadzah berkenan meneruskan tangan saya untuk membimbing bu Amidah agar tidak kembali tergelincir ke lembah kelam."

"Baik bunda, insyaa Allah."

Dalam perjalanan pulang, Inara bergumam dalam hatinya,
"Ya Allah benarlah, 
ENGKAU memang membenci perbuatan dosa, namun ENGKAU tidak membenci pendosa. 
ENGKAU selalu ulurkan tangan bagi mereka yang bersedia untuk ENGKAU angkat."

Kita tidak pernah tahu ada tangisan apa di balik tawa. Kita juga tidak pernah tahu ada kebahagiaan apa di balik tangisan.

Barokallahu fiikum.
Irene Radjiman

Tuesday, February 11, 2020

Bolu Pisang dan Es Krim


"Ma, kakak  ranking satu, mana janji mama mau beliin es krim," rengek Dika putra sulungku. Sejak pulang sekolah ia selalu saja menagih janjiku. Mana kutahu bila si sulung yang baru kelas dua SD akan meraih ranking satu, pikirku saat berjanji paling dia hanya akan masuk sepuluh besar saja seperti biasa.

"Sabar ya, Nak, tunggu ibu gajian tanggal satu," janjiku, padahal aku pun tahu tanggal satu nanti upah menjadi buruh cuci separuhnya akan habis menyicil hutang pengobatan  ketika almarhum suami sakit dulu.

Dika cemberut. Aku tahu dia kecewa. Tak banyak pinta anak ini sebenarnya, hanya sebuah es krim ketika ia ranking satu. Tapi bagiku itu barang mahal.

Ah seandainya saja Dika ranking dua atau tak usahlah ranking sekalian,  ia pasti tak sekecewa ini.

Keterpurukan hidupku bermulai ketika suami yang tiap hari bekerja sebagai buruh bangunan kecelakaan dan lumpuh. Tiap Minggu harus bolak balik kontrol ke rumah sakit, walau pakai BPJS namun kerepotan ini tetap membutuhkan biaya hingga hutang pun menumpuk.

Ketika suami akhirnya pergi selamanya, hutang-piutang pun berdatangan meminta haknya untuk dilunasi.

Aku pasrah. Memohon kepada si pemberi hutang agar memberi kelonggaran dengan mencicil.

Bukan tak mau bekerja lebih giat lagi, namun selain Dika, aku memiliki Anita putri bungsuku yang masih berusia dua tahun. Tak semua orang mau menerima pekerja rumah tangga yang membawa balita.

Sejak itu aku melakukan kerja apapun, mulai dari buruh cuci, hingga upahan membuat kue. Kebetulan kata orang-orang bolu pisang buatanku enak.

(Mbak, bisa buatin bolu pisang?) Sebuah pesan masuk.

Aku bersorak. Alhamdulillah tak sia-sia mengisi pulsa data beberapa hari yang lalu dan mengaktifkan WA ku. Ada pesanan masuk.

(Bisa Mbak, mau berapa loyang?)

(2 loyang, ngambilnya habis Zuhur bisa?)

(Bisa Mbak.) Aku menyanggupi.

(Tapi bolu pisangnya jangan pakai gula ya, biar manisnya ngambil dari pisangnya saja. Anakku alergi gula.)

(Siap, Mbak. Otw dibuat.)

(Berapa harganya?)

(50.000 Mbak.)

(40.000 saja ya, kan gak pakai gula.)

Aku menelan ludah. Ya Tuhan, padahal dalam tiap loyangnya aku hanya mengambil untung 20.000.

(Ya sudah karena Mbak ngambil dua, aku kasih.)

(Oke, tapi aku gak bisa ngambil ke rumah ya, Mbak. Aku mau pergi liburan, jadi jam 1 aku tunggu di depan SMP yang ada di simpang itu.)

(Oke siap.)

Aku segera gerak cepat menyiapkan semua bahan dan mulai bekerja. Baru jam sembilan berarti masih banyak waktu luang. Kebetulan ada pisang Ambon yang belum terpakai jadi gak perlu beli ke pasar.

Alhamdulillah aku bisa mendapat untung dua puluh ribu dari penjualan dua loyang bolu pisang.

Sepuluh ribunya bisa buat beli es krim harga lima ribu untuk si sulung dan bungsu dan sisanya untuk tambahan belanja besok.

Setelah sholat Zuhur, jam 12.30 aku segera berangkat menuju tempat yang dijanjikan. Si sulung mengekor langkahku dengan riang karena terbayang es krim yang bakal didapat. Si bungsu sedang tidur siang jadi kugendong saja.

Tempat janjian kami cukup jauh sekitar setengah kilometer dari rumah. Walau tengah hari dan terik matahari tengah garang menyerang, aku tetap semangat, demi Rp20.000.

Jam satu kurang lima menit kami telah tiba di tempat janjian. Mungkin sebentar lagi yang memesan akan datang.

Sepuluh menit, dua puluh menit hingga tiga puluh menit berlalu namun tak kunjung ada tanda bila si pemesan akan datang.

Beberapa pesan telah kukirim sejak tadi namun hanya terkirim dan belum dibaca.

Aku menelpon berkali-kali pun tak kunjung diangkat. Sudah hampir satu jam menanti.

Si sulung telah lelah dan merengek sementara si bungsu telah bangun dan ikut meraung karena kepanasan.

Ting! Sebuah pesan masuk. Hatiku bersorak, dari si pemesan kue.

(Ya Allah Mbak, maaf ya aku lupa. Ini suami berubah pikiran, awalnya dia bilang berangkat habis Zuhur eh tahunya jam sepuluh udah mau buru-buru. Jadi gak sempat kasih kabar. Mbak, jual bolunya sama orang lain saja ya, aku udah otw ke kampung.)

Aku langsung terduduk lemas. Ya Allah, ya Allah, ya Allah. Apalagi ini? Aku tak meminta banyak ya Allah, hanya es krim saja.

Peluhku yang sudah sejak tadi mengucur, kini bercampur dengan air mata.

Siapa yang ingin membeli bolu pisang tanpa gula dengan rasa manis yang alakadarnya?

Ya Allah, berkali aku menyeka air mata yang terus membasahi wajah.

Sulungku berhenti merengek, ia langsung diam melihat air mataku. Lama ia menatapku iba. Kedua netranya mulai berkaca. Tak tega hati ini melihatnya. Ia hanya ingin es krim seharga 5000 ya Allah.

"Dika gak akan minta es krim lagi Bu, tapi ibu jangan nangis." Dika kecilku berkata dengan suara yang bergetar. Sepertinya ia pun menahan tangis.

"Kita pulang, Nak," ucapku. Dika mengangguk, si bungsu pun tangisnya mulai mereda. Sepertinya ia mengerti akan kegundahan hati ini.

Ya Allah, beginilah rasanya. Sakit ya Allah, sakit, sakit, sepele bagi mereka namun begitu berat bagiku. Bahan-bahan bolu itu adalah modal terakhir dan kini seolah sia-sia.

Ya Allah, berkali aku menyebut nama-Nya. Berat, sungguh berat, belum lama suamiku pergi dan kini rasanya aku lemah.

Tak banyak ya Allah hanya ingin es krim saja, itu saja, untuk menyenangkan buah hatiku dan kini bukan untung yang kudapat malah kerugian yang telah nyata di depan mata.

Aku baru saja memasuki halaman rumah kontrakan ketika Bu Tia tetanggaku kulihat telah menunggu.

"Eh, ibunya Dika, dicariin, untung cepat pulang."

"Ada apa Bu?" tanyaku. Semoga saja wanita baik ini akan memberikanku perkerjaan. Apa saja boleh, bahkan yang terkasar sekalipun akan kuterima. Tapi gak mungkin, di rumah besarnya sudah ada dua pembantu yang siap sedia. Aku kembali membuang anganku.

"Gini, ibu jangan tersinggung ya." Bu Tia menatapku.

Aku mengangguk, ingin kukatakan bila rasa tersinggung itu sudah lama lenyap dalam kamus hidupku.

"Papanya anak-anak kan baru pulang jemput kakek neneknya dari bandara. Ya dasar laki-laki tahunya kan cuma nyenengin anak tapi gak tahu yang baik. "

Aku mengangguk walau belum paham kemana arah pembicaraan.

"Masa dia ngebeliian anak-anak es krim sampai lima buah. Padahal anakku kan masih batuk pilek parah. Jadi, daripada buat rusuh, mau ya Bu nerima es krim ini, untuk Dika dan adiknya." Bu Tia menyerahkan plastik putih berisi es krim padaku.

Aku terdiam tak sanggup berkata-kata.

"Asikkk." Dika bersorak, aku masih bergeming.

"Lo, yang ibu bawa itu apa?" tanya Bu Tia melirik kantong hitam berisi dua kotak bolu pisangku.

"Bolu pisang Bu, tapi gak manis, kebetulan yang mesan batal. "

"Wah kebetulan, neneknya di rumah itu diabetes jadi gak bisa makan manis. Saya beli ya untuk cemilan."

"Benar Bu?" Aku bertanya tak percaya.

"Iya, berapa harganya?"

"Berapa saja, Bu. Terserah, asal jadi uang."

"Ya sudah." Bu Tia menyerahkan dua lembar uang merah ke dalam genggamanku.

"Ya Allah Bu, ini kebanyakan ," ucapku.

"Sudah, gak apa. Ambil saja, kalau mesan yang kayak gini emang mahal kok Bu." Bu Tia langsung mengambil kantong berisi bolu pisang dan bergegas pergi.

Aku masih diam dengan air mata yang mulai menetes lagi. Baru saja mengeluh akan pahitnya hidup dan kini semua telah terbayar lunas.

*

Bu Tia meletakkan bolu pisang yang baru ia beli di atas meja makan.

Ia duduk dan memandang dua kotak bolu pisang itu dengan tatapan berkaca.

Sungguh zolim sebagai tetangga, bahkan ada seorang janda yang kesusahan pun ia tak tahu. Sementara baru saja ia membeli tas branded seharga jutaan dan tak jauh dari rumahnya ada seorang anak yatim merengek pada ibunya hanya demi sebuah es krim.

Untung saja Fahri putranya bercerita, bila tidak pastilah kezoliman ini akan terus berlangsung.

"Ma, tadi yang juara 1 Dika, tetangga kita yang di ujung itu." lapor putra sulungnya.

"Bagus dong, les dimana dia?"

"Gak les kok, Ma. Orang dia miskin kok."

"Hey, gak boleh menghina orang lain." Bu Tia melotot pada putranya.

"Gak menghina kok. Kenyataan emang dia miskin. Kasihan deh Ma, masa kan ibunya janji mau beliin dia es krim kalau ranking satu eh pas dia ranking satu malah ibunya bilang tunggu ada uang. Kasihan banget Dika ya , Ma. Mana kalau di sekolah dia suka mandang jajanan temannya kayak ngiler gitu tapi pas dikasih dia nolak. Malu mungkin ya, Ma." Fahri bercerita panjang lebar.

Bu Tia terdiam.

Ya Allah mengapa ia tak tahu? Selama ini, ia aktiv ikut kegiatan sosial, mengunjungi panti asuhan ini dan itu. Namun ia abai akan keadaan di sekitar.

"Ma, bolunya gak ada rasa, kurang enak," ucap Fachri membuyarkan lamunannya.

"Sengaja, makannya bukan gitu. Tapi kamu oles mentega dan taburi meses atau kamu oles selai buah."

"Ohhh, gitu ya. Tumben mama pesan bolu tawar."

"Lagi pengen aja."

Bu Tia menghela napas panjang. Tak akan terulang lagi, jangan sampai ada tangis anak yatim yang kelaparan di sekitarnya.

Anak yatim itu bukan tanggung jawab ibunya saja tapi keluarga dan orang sekitar.

*

Sepele bagi kita namun berarti bagi mereka.

Ada kala sisa nasi kemarin sore yang tak tersentuh di atas meja makan kita adalah mimpi dari anak-anak yang telah berhari-hari terpaksa hanya berteman dengan ubi rebus saja.

Jangan heran menatap binar seseorang yang begitu terharu ketika gaun pesta yang menurut kita sudah ketinggalan jaman itu kita berikan pada mereka.

Uang lima puluh ribu yang sangat mudah lenyap ketika dibawa ke mini market bertukar dengan kinderj*y dan beraneka jajanan yang habis dalam sekejap itu adalah setara dengan hasil kerja keras seorang buruh dari subuh hingga menjelang Magrib.

Bersedekah itu gak perlu banyak, sedikit saja dari yang kita punya. Memberi itu jangan menunggu kaya, saat kekurangan lah justru diri harus lebih bermurah hati.

Beruntunglah bila di sekitar begitu banyak ladang sedekah dimana kita dapat menukar rupiah menjadi pahala. Kaya itu bukan pada jumlah harta tapi bagaimana kita membelanjakannya. Akherat itu ada dan sudah kah kita menyiapkan hunian di sana?

Pengingat diri agar lebih peka.


Saturday, January 25, 2020

BIAYA MASUK TOILET


Di dalam sebuah mall, ada toilet yang ada penjaganya dan ada juga yang tidak. Yang ada penjaganya biasanya untuk masuk kesana dan menggunakan jasa yang disediakan akan dimintakan ongkos. Sementara yang tidak ada penjaga pengunjung bisa menggunakan fasilitas secara gratis.

Di depan sebuah Toliet yang ada penjaganya berdiri seorang pria yang sudah cukup berumur dan menatap ke arah penjaga toilet tersebut.

PENJAGA : Maaf Pak...!!
Untuk Masuk Toilet,Bapak Harus Bayar Rp:2000.

ORANG TUA : ( Terdiam menekur dan kemudian meneteskan air mataya)

PENJAGA : Eh... Kenapa Bapak Menangis? Kalau Bapak Gak Punya Uang Bilang Aja, Nanti Saya Gratiskan. Silahkan Bapak Masuk Saja.

ORANG TUA : Nak... Aku Menangis Bukan Karna Tidak Punya Uang. Malah  Aku Punya Banyak Uang. Jangankan Hanya Untuk Membayar Harga Masuk Toilet. Membeli Toilet Ini Pun Aku Mampu Jika Aku Mau.

PENJAGA : Lantas, Kalau Begitu, Kenapa Bapak Menangis...?
ORANG TUA : Aku Menangis Karna Tempat  Sekotor Ini Pun Punya Harga Yg Harus Dibayar Bila Ingin Masuk. Apa Lagi Surga Yg Begitu Harum Dan Indah. Berapa Harga Yg Harus Ku Bayar,
Cukupkah Amalku.... Ibadahku... Pelayanan ku....  Untuk Membayar Masuk Surga ???

PENJAGA : ( Hanya terdiam dan menunduk)

Tuesday, December 31, 2019

BERBOHONG KARENA HARGA DIRI

Abu Nawas berjalan di tengah pasar sambil menengadah melihat ke dalam topinya. Orang-orang memperhatika ulah Abu Nawas itu dengan wajah heran. Apakah Abu Nawas telah gila ? Apalagi dia melihat kedalam topinya sambil tersenyum dan penuh bahagia. Salah seorang datang menghampiri Abu Nawas


“Wahai saudaraku, apa yang sedang kamu lihat di dalam topi itu?

“Aku sedang melihat sorga lengkap dengan barisan bidadari..”, kata Abu Nawas dengan wajah cerah dan senyum puas.

“Coba aku lihat !”

“Saya engga yakin kamu bisa melihat seperti yang saya lihat”

“Mengapa?”

“Karena hanya orang yang beriman dan sholeh saja yang bisa lihat sorga di topi ini.” Kata Abu Nawas meyakinkan.

“Coba aku lihat” Kejar si penanya penasaran.

“Silahkan” kata Abu Nawas…


Orang itu melihat kedalam topi itu dan sejenak kemudian dia melihat kearah Abu Nawas, “Benar kamu, Aku melihat sorga di topi ini dan juga bidadari. Subhanallah! Allahuakbar!”, kata orang itu berteriak dan didengar orang banyak.

Abu Nawas tersenyum.


Sementara orang banyak yang menyaksikan ulah Abu Nawas ingin pula membuktikan apakah benar ada sorga di dalam topi itu. Abu Nawas mengingatkan kepada mereka semua: “Ingat hanya orang beriman dan sholeh yang bisa lihat sorga didalam ini. Yang tak beriman tidak akan melihat apapun.”

Satu demi satu orang melihat kedalam topi Abu Nawas itu. Ada yang dengan tegas menyatakan melihat sorga dan ada juga yang mengatakan Abu Nawas bohong.

Abu Nawas tetap tenang saja sambil menebar senyum. Akhirnya, bagi mereka yang tidak melihat sorga di dalam topi itu melaporkan kepada Raja.

Bahwa Abu Nawas telah menebarkan kebohongan kepada orang banyak.

Raja memanggil Abu Nawas menghadap raja.


Di hadapan Sang Raja, “Abu Nawas!!” seru Raja, “benarkah kamu bilang di dalam topi mu bisa nampak sorga dengan sederet bidadari cantik?”

“Benar raja, tapi yang bisa melihat hanya orang beriman dan sholeh. Bagi yang tidak bisa melhat itu artinya dia tidak beriman dan kafir”

“Oh begitu, coba saya buktikan apakah benar cerita kamu itu.” Kata Sang Raja, yang segera melihat kedalam topi Abu Nawas dari sudut kiri dan kanan, atas dan bawah.


Akhirnya raja terdiam seakan berpikir “Benar tidak nampak sorga di dalam topi ini. Tapi andaikan aku bilang tidak ada sorga maka orang banyak akan tahu aku termasuk tidak beriman dan termasuk kafir. Tentu akan hancur reputasiku,” demikian kira kira yang di pikirkan Raja.


Akhirnya dengan wajah yang seakan girang dan penuh kemantaban, Raja bersorak: “Benar! Saya sebagai saksi, bahwa di dalam topi Abu Nawas kita bisa melihat sorga dengan sederetan bidadari!”. Orang banyak akhirnya menerima cerita Abu Nawas karena kawatir berbeda dengan Raja.


Sanggupkah anda berbohong hanya demi GENGSI?

Katakanlah benar itu benar walaupun pahit....

Friday, December 27, 2019

MENUTUP AIB SAUDARAMU


Sekelompok anak muda menghadiri sebuah resepsi pernikahan.
Salah seorang di antaranya melihat guru SD nya.

Murid itu menyalami gurunya dengan penuh penghormatan, seraya berkata:
"Masih ingat saya kan, pak guru?”

Gurunya menjawab, “wah maaf nak, sudah tidak ingat. Anak murid bapak buanyak sekali. Maaf ya."

Murid itu bertanya keheranan, "Masa sih, pak guru tidak ingat saya."
"Saya kan... murid yang dulu  mencuri jam tangan salah seorang teman di kelas."
"Ketika anak yang kehilangan jam itu menangis, pak guru menyuruh kita untuk berdiri semua, karena akan dilakukan penggeledahan saku murid semuanya."

"Saat itu saya berfikir, bahwa saya akan dipermalukan dihadapan para murid dan para guru, dan akan menjadi tumpahan ejekan dan hinaan, mereka akan memberikan gelar kepada saya: "pencuri" dan harga diri saya pasti akan hancur, selama hidup saya."

"Bapak menyuruh kami berdiri menghadap tembok dan menutup mata kami semua."

"Bapak menggeledah kantong kami, dan ketika tiba giliran saya, Bapak ambil jam tangan itu dari kantong saya, dan Bapak lanjutkan penggeledahan sampai murid terakhir."

"Setelah selesai, Pak guru menyuruh kami membuka penutup mata, dan kembali ke tempat duduk masing-masing."

"Saya takut Bapak akan mempermalukan saya di depan murid murid lain yang semuanya  teman teman saya."

"Bapak tunjukkan jam tangan itu dan Bapak berikan kepada pemiliknya, tanpa menyebutkan siapa yang mencurinya."

"Selama saya belajar di sekolah itu, Bapak tidak pernah bicara sepatah kata pun tentang kasus jam tangan itu, dan tidak ada seorang pun guru maupun murid yang bicara tentang pencurian jam tangan itu."

"Bapak masih ingat saya kan  pak?"
"Bagaimana mungkin Bapak tidak mengingat saya??"

"Saya adalah murid Bapak, dan cerita itu adalah cerita pedih yang tak akan terlupakan selama hidup saya."

"Saya sangat mengagumi Bapak. Sejak peristiwa itu saya berubah menjadi orang yang baik dan benar hingga sekarang saya jadi orang sukses.
Saya  mencontoh semua akhlak dan sikap, juga perilaku Bapak."

Sang Guru itu pun menjawab,
"Sungguh aku tidak mengingatmu, karena pada saat menggeledah itu, aku sengaja menutup mataku, agar aku tidak mengenalmu."

"Karena aku tidak mau merasa kecewa atas perbuatan salah satu muridku, aku sangat mencintai semua murid-muridku..."

*

Sahabat...

Pendidikan memerlukan akhlak yang mengajari bagaimana menutup segala keburukan orang lain.

Seperti kisah di atas bagaimana akhlak guru terhadap muridnya dan juga murid terhadap gurunya.

Karena pada hakikatnya setiap kita adalah guru,
dan setiap kita adalah murid.

Tutuplah Aib saudaramu, tahanlah lisanmu, dan jangan menyebarkannya.

Aib yang nyata saja diperintahkan Allah untuk ditutup, apalagi Aib yang belum tentu benar/salahnya, atau masih simpang siur kabarnya.

Tutupi Aib saudaramu di dunia maka Allah SWT akan menutupi Aibmu di akhirat.

Memaafkan, memaklumi, dan berempati adalah sikap orang yang berjiwa besar.

Guru memiliki tugas mulia, yakni mendidik muridnya memiliki jiwa besar.
😍😊 👍

Thursday, December 26, 2019

Pilih Qory Anda!

Assalamualaikum Wr Wb

Hi, bagi yang membutuhkan link untuk mendengarkan Al Quranul Kariim silakan visit link berikut ini.  Canggih, tidak repot. Cukup pencet saja salah satu dari puluhan foto Qori' dan pilih surahnya, dan anda akan mendengar suara yg sangat merdu dengan lantunan ayat Al-Quran.

Tidak perlu download aplikasi. *Langsung klik saja tulisan yg berwarna biru dibawah ini sesuai keinginan saudara in sya Allah mantab.

http://www.quran4iphone.com/MenuPhotosEN.html#y
‏​‏
Silahkan kalau mau dikirimkan keseluruh group Anda, mudah²an menjadi Amal Jariyah.


Aamiin yarobbal Alamiin  Wassalam